12 Januari 2015
Penulis: Fakry Naras Wahidi
Pagi itu saya diminta nyokap untuk membeli ayam buras di pasar tradisonal Bintaro. Bersamaan dengan itu, saya juga diminta untuk mengantarkan adik saya ke sekolah, karena ban sepedanya kempes.
Saat berangkat, ada saudara saya naik motor bonceng tiga di mana masing-masing bentuk tubuhnya termasuk bongsor. Nah saat itulah saya mengutarakan kalimat yang mungkin menjadi sebab musibah yang menimpa saya pagi itu.
"Ga pecah apa itu ban bonceng tiga? Gede-gede banget penumpangnya."
Mereka hanya tersenyum, tidak membalas.
Tak lama setelah itu, ban saya rasanya agak aneh. Goyang gitu. Tapi saya lanjutkan saja bonceng adik saya menuju ke sekolahnya. Sepanjang perjalanan, saya merasakan ban kok semakin aneh saja rasanya.
Hingga pada akhirnya sampai ke sekolah.
"Bang, ban belakang bocor kali," kata adik saya.
Saya lihat ke belakang, ban oke-oke saja. Tapi saat saya melihat ke ban depan, ternyata oh ternyata. Benar saja, bocor.
Ya sudahlah, untung sudah sampai ke sekoah adik saya di Pondok Ranji, Bintaro.
Tidak mau kerusakan ban semakin buruk, saya putuskan untuk menuntun motor untuk menuju ke pasar tradisional sambil mencari tukang tambal ban. Barang kali ada yang sudah bukan pagi itu.
Namun sayang, sepanjang jalan Pondok Ranji tidak ada tukang tambal ban yang buka. Saya berjumpa tukang tambal ban ketika hampir sampai pasar, di sebelah Puskesmas Bintaro. Itupun baru benar-benar buka, terlihat abang-abangnya baru menyeluarkan peralatan kerjanya.
"Bang, sudah buka?"
"Udah, kenapa itu motornya?" dia tanya.
"Ban depan bocor."
Tidak lama kemudian, abang tukang tambal ban itu mengerjakan ban saya. Saya hanya berharap agar kerusakannya tidak parah sehingga cukup ditambal saja, tidak perlu sampai mengganti ban dalam.
Malangnya, kerusakan ban malah sudah parah.
"Yah, bannya sudah parah banget ini. Tidak tertolong. Harus diganti ban dalamnya."
Bagaikan tersambar petir, saya melihat kondisi ban dalam yang sudah hancur lebur.
"Ya elah, pagi-pagi motor sudah minta jajan, " kata saya dalam hati.
"Ganti aja bang."
Kalau saya tahu bahwa ban dama motor saya ujung-ujungnya akan diganti karena sudah rusak parah, mendingan tadi saya naikin saja motornya. Jadi tidak capek dorong. Sampai jompol kaki kanan kapalan ini.
Ketika menunggu ban selesai diperbaiki, saya merenung sejenak. Mungkin musibah pagi ini terjadi karena ucapan saya kepada saudara-saudara saya tadi, menggoda kalau ban motornya akan pecah karena dinaiki bertiga.
Kadang, saya memang tidak dapat menjaga ucapan sih. Suka melontarkan kalimat yang menyakiti hati orang lain. Saya termasuk orang yang hobi menggoda dan ngeledek orang lain. Tapi tidak sampai menghina dina lho.
Tidak lama. Ban motor saya sudah selesai diperbaiki. Bayar ongkos perbaikan dan langsung menuju pasar untuk membeli ayam untuk dibuat opor oleh nyokap.
Pelajaran deh, jangan sering-sering ngeledek orang.
Penulis: Fakry Naras Wahidi
Pagi itu saya diminta nyokap untuk membeli ayam buras di pasar tradisonal Bintaro. Bersamaan dengan itu, saya juga diminta untuk mengantarkan adik saya ke sekolah, karena ban sepedanya kempes.
Saat berangkat, ada saudara saya naik motor bonceng tiga di mana masing-masing bentuk tubuhnya termasuk bongsor. Nah saat itulah saya mengutarakan kalimat yang mungkin menjadi sebab musibah yang menimpa saya pagi itu.
"Ga pecah apa itu ban bonceng tiga? Gede-gede banget penumpangnya."
Mereka hanya tersenyum, tidak membalas.
Tak lama setelah itu, ban saya rasanya agak aneh. Goyang gitu. Tapi saya lanjutkan saja bonceng adik saya menuju ke sekolahnya. Sepanjang perjalanan, saya merasakan ban kok semakin aneh saja rasanya.
Hingga pada akhirnya sampai ke sekolah.
"Bang, ban belakang bocor kali," kata adik saya.
Saya lihat ke belakang, ban oke-oke saja. Tapi saat saya melihat ke ban depan, ternyata oh ternyata. Benar saja, bocor.
Ya sudahlah, untung sudah sampai ke sekoah adik saya di Pondok Ranji, Bintaro.
Tidak mau kerusakan ban semakin buruk, saya putuskan untuk menuntun motor untuk menuju ke pasar tradisional sambil mencari tukang tambal ban. Barang kali ada yang sudah bukan pagi itu.
Namun sayang, sepanjang jalan Pondok Ranji tidak ada tukang tambal ban yang buka. Saya berjumpa tukang tambal ban ketika hampir sampai pasar, di sebelah Puskesmas Bintaro. Itupun baru benar-benar buka, terlihat abang-abangnya baru menyeluarkan peralatan kerjanya.
"Bang, sudah buka?"
"Udah, kenapa itu motornya?" dia tanya.
"Ban depan bocor."
Tidak lama kemudian, abang tukang tambal ban itu mengerjakan ban saya. Saya hanya berharap agar kerusakannya tidak parah sehingga cukup ditambal saja, tidak perlu sampai mengganti ban dalam.
Malangnya, kerusakan ban malah sudah parah.
"Yah, bannya sudah parah banget ini. Tidak tertolong. Harus diganti ban dalamnya."
Bagaikan tersambar petir, saya melihat kondisi ban dalam yang sudah hancur lebur.
"Ya elah, pagi-pagi motor sudah minta jajan, " kata saya dalam hati.
"Ganti aja bang."
Kalau saya tahu bahwa ban dama motor saya ujung-ujungnya akan diganti karena sudah rusak parah, mendingan tadi saya naikin saja motornya. Jadi tidak capek dorong. Sampai jompol kaki kanan kapalan ini.
Abang tambal ban sedang beraksi |
Ketika menunggu ban selesai diperbaiki, saya merenung sejenak. Mungkin musibah pagi ini terjadi karena ucapan saya kepada saudara-saudara saya tadi, menggoda kalau ban motornya akan pecah karena dinaiki bertiga.
Kadang, saya memang tidak dapat menjaga ucapan sih. Suka melontarkan kalimat yang menyakiti hati orang lain. Saya termasuk orang yang hobi menggoda dan ngeledek orang lain. Tapi tidak sampai menghina dina lho.
Tidak lama. Ban motor saya sudah selesai diperbaiki. Bayar ongkos perbaikan dan langsung menuju pasar untuk membeli ayam untuk dibuat opor oleh nyokap.
Pelajaran deh, jangan sering-sering ngeledek orang.
Komentar
Posting Komentar