Saya punya kenalan yang berprofesi sebagai seorang novelis, translator dan editor. Pendidikannya pun termasuk tinggi dalam bidang bahasa, bahkan ia sering tampil dalam seminar sebagai narasumber dan acara bincang-bincang.
Ia mengatakan, dulu banget sih, untuk bisa menulis cerita atau novel yang bagus, saya harus membaca beberapa tulisan orang lain terlebih dahulu sebagai referensi. Ia menegaskan agar saya sudah membaca minimal 20 novel untuk mengetahui cara menulis dan membuat pola cerita yang rapi.
Bentar-bentar, kok banyak banget sih yang harus dibaca?! Saya pun menolak saran dari teman saya yang sudah berpengalaman lebih dari lima tahun di industri penerbitan buku itu.
"Ngapain baca tulisan orang lain, nanti bisa terpengaruh gaya penulisan dari penulis yang bukunya saya baca. Malah nantinya jadi nggak original dong," pikir saya saat itu.
Belakangan, saya hadir dalam sesi bincang-bincang pada acara Komik & Cosplay Indonesia yang menghadirkan narasumber Muhammad Taufik selaku ketua Komunitas Penerbitan Komik Indonesia (KPKI), dan Leo Tigor, distributor buku Nalar.
Ketika saya baru saja datang, ternyata sedang ada audience yang bertanya kepada narasumber mengenai apakah perlu seorang komikus (atau penulis) untuk membaca komik karya komikus lain?
Narasumber menjawab, hal itu memang diperlukan sebagai referensi agar bisa membuat kisah yang seru dan original. Wah, pernyataanya sama seperti teman saya.
Pak Leo mengatakan, "Bagaimana kita tahu karya kita spesial, kalau ternyata di luar sana ada karya dengan ide serupa yang mungkin dibuat lebih dulu oleh orang lain."
Ia juga bercerita mengenai temannya yang sudah membuat suatu kisah, tokoh, tapi ternyata ada juga orang lain yang juga membuat dengan ide serupa. Kemudian pak Leo melanjutkan bahwa hal itu bisa terjadi karena kurangnya pengetahuan terhadap industrinya sendiri, kurang banyak membaca karya orang lain sehingga kurang referensi.
Pernyataan terakhirlah yang menurut saya menarik. Alasan kenapa harus membaca karya orang lain adalah untuk menghargai sebuah karya dan mendukung industri sendiri. Kalau kita saja tidak mau baca karya orang lain, siapa yang nantinya akan baca karya kita?
Akhirnya saya menyadari bahwa anjuran dari teman saya itu memang benar. Saya yang salah, karena sudah sok tahu. Padahal jika diukur dari faktor pengalaman dan keilmuan, saya ini jauh ketinggalan dengannya.
Sekarang saya mulai lagi baca-baca komik dan tulisan orang lain, dengan harapan bisa memperluas wawasan dan memperkaya kosakata dalam menyampaikan ide dalam pikiran ke bentuk tulisan.
Setidaknya sekarang saya sudah tahu alasan untuk memiliki banyak referensi, yaitu untuk mengetahui kualitas karya diri sendiri. Sudah bagus atau belum, original atau tidak, berbobot atau masih kacangan.
Yuk baca, dan mari menulis!
Ia mengatakan, dulu banget sih, untuk bisa menulis cerita atau novel yang bagus, saya harus membaca beberapa tulisan orang lain terlebih dahulu sebagai referensi. Ia menegaskan agar saya sudah membaca minimal 20 novel untuk mengetahui cara menulis dan membuat pola cerita yang rapi.
Bentar-bentar, kok banyak banget sih yang harus dibaca?! Saya pun menolak saran dari teman saya yang sudah berpengalaman lebih dari lima tahun di industri penerbitan buku itu.
Dari tengah: Muhammad Tauhid (kiri) - Leo Tigor (kanan) |
"Ngapain baca tulisan orang lain, nanti bisa terpengaruh gaya penulisan dari penulis yang bukunya saya baca. Malah nantinya jadi nggak original dong," pikir saya saat itu.
Belakangan, saya hadir dalam sesi bincang-bincang pada acara Komik & Cosplay Indonesia yang menghadirkan narasumber Muhammad Taufik selaku ketua Komunitas Penerbitan Komik Indonesia (KPKI), dan Leo Tigor, distributor buku Nalar.
Ketika saya baru saja datang, ternyata sedang ada audience yang bertanya kepada narasumber mengenai apakah perlu seorang komikus (atau penulis) untuk membaca komik karya komikus lain?
Narasumber menjawab, hal itu memang diperlukan sebagai referensi agar bisa membuat kisah yang seru dan original. Wah, pernyataanya sama seperti teman saya.
Pak Leo mengatakan, "Bagaimana kita tahu karya kita spesial, kalau ternyata di luar sana ada karya dengan ide serupa yang mungkin dibuat lebih dulu oleh orang lain."
Ia juga bercerita mengenai temannya yang sudah membuat suatu kisah, tokoh, tapi ternyata ada juga orang lain yang juga membuat dengan ide serupa. Kemudian pak Leo melanjutkan bahwa hal itu bisa terjadi karena kurangnya pengetahuan terhadap industrinya sendiri, kurang banyak membaca karya orang lain sehingga kurang referensi.
Leo Tigor - Distributor buku Nalar |
Pernyataan terakhirlah yang menurut saya menarik. Alasan kenapa harus membaca karya orang lain adalah untuk menghargai sebuah karya dan mendukung industri sendiri. Kalau kita saja tidak mau baca karya orang lain, siapa yang nantinya akan baca karya kita?
Akhirnya saya menyadari bahwa anjuran dari teman saya itu memang benar. Saya yang salah, karena sudah sok tahu. Padahal jika diukur dari faktor pengalaman dan keilmuan, saya ini jauh ketinggalan dengannya.
Sekarang saya mulai lagi baca-baca komik dan tulisan orang lain, dengan harapan bisa memperluas wawasan dan memperkaya kosakata dalam menyampaikan ide dalam pikiran ke bentuk tulisan.
Setidaknya sekarang saya sudah tahu alasan untuk memiliki banyak referensi, yaitu untuk mengetahui kualitas karya diri sendiri. Sudah bagus atau belum, original atau tidak, berbobot atau masih kacangan.
Yuk baca, dan mari menulis!
Komentar
Posting Komentar