1 Juni 2015
Penulis: Fakry Naras Wahidi
Road to Cocoon 2016 merupakan acara Cocoon pertama yang saya hadiri. Berlangsung pada tanggal 31 Mei 2015 di Jakarta Design Center (JDC), Slipi, Jakarta Barat, saya cukup terkejut karena pengunjungnya yang ramai.
Apa karena ruangannya sempit? Entahlah. Yang jelas, saya melihat transaksi di acara yang hanya berlangsung sehari ini cukup tinggi.
Masuk ke materi panel oleh Sweta Kartika, Alex Irzaqi dan Mimi N. yang mana mereka adalah sebagai komikus profesional. Saya tertarik dengan materi yang diangkat karena pembicaranya itu orang-orang yang kompeten dan mampu membuat hobi ngomik menjadi profesi yang menghasilkan.
Pertanyaannya, kapankan hobi itu bisa dikatakan sudah penjadi profesi?
"Hobi menjadi profesi itu ketika sudah dimonetisasi," jawab Sweta. "Hobi komik menjadi profesi itu kalau sudah dijual," tambahnya.
Sweta menjelaskan awal dirinya membuat komik Grey & Jingga sebagai media sindiran untuk orang-orang di sosial media, khususnya yang galau, yang sering update status no mention.
Mengenai cara promosi dan mengenalkan karyanya ke masyarakat, Sweta punya cara sendiri.
"Lima seri pertama Grey & Jingga, saya tag komik online itu ke orang-orang yang dirasa potensial untuk share, selebihnya tidak tag lagi. Karena sudah ada yang share tanpa saya tag," tukas Sweta.
"Ketika hobi ngomik sudah menjadi profesi, komikus harus bisa memenuhi keinginan atau tuntutan pembaca dan editor," papar Mimi.
Mimi bercerita bahwa ngomik dilakukannya untuk menyalurkan hobi gambar, dan mewujudkan idealisme tentang pandangan-pandangan negatif terhadap dunia yang ada dalam pikirannya. Dari sana juga cerita komik World Inverse tercipta.
Mimi menerbitkan komik itu secara indie. Dan ia terkesan ketika mengetahui pemikirannya itu disukai.
Ada peserta panel yang bertanya, dan pertanyaan itu mungkin juga merupakan pertanyaan semua orang yang ingin terjun ke industri komik.
"Apakah untuk jago ngomik itu harus jadi profesional dulu?"
Pertanyaan itu dijawab oleh Irzaqi dengan santai, namun tidak menyelesaikan masalah karena ia menjawab secara garis besar yang intinya tanpa jadi profesi, anda bisa bikin komik yang bagus.
Begitu juga menurut Sweta dan Mimi. Namun dengan menjadi profesional, jam terbang dan tuntutan profesi itu bisa jadi cambuk untuk terus memperbaiki kualitas komik, baik itu gambar maupun ceritanya.
Pertanyaan terakhir yang diberikan oleh peserta panel, "Apakah untuk bisa bikin komik yang bagus itu seseorang harus bisa gambar?"
Sweta menjawab dengan sangat jelas, berdasarkan pengalamannya di Nusantaranger. Menurutnya, untuk membuat komik yang bagus, tidak harus bisa gambar karena Nusantaranger sendiri dikerjakan bersama secara tim. Setiap anggotanya memiliki perannya sendiri, ada yang bikin cerita, konsep, buat merchandise, merencanakan penjualan, dan yang gambar untuk mewujudkan cerita dalam bentuk komik.
"Di Nusantaranger, yang gambar cuma saya. Anggota lainnya menjalankan perannya masing-masing. Tapi tujuan kita sama, membuat komik yang bagus," jelas Sweta.
Pada panel ini, tidak banyak materi yang dijelaskan oleh Irzaqi. Namun berdasarkan pengamatan saya, dia merupakan orang yang passion di bidang komik. Eksentrik, tapi konsisten. Menurut saya, yang model begini saja bisa jago, gemana kalau anda lebih semangat? Pasti bisa lebih baik.
Demikianlah materi yang dapat saya tangkap dalam panel bertajuk "Komikus sebagai hobi atau profesi" di panel Road to Cocoon 2016.
Jika anda memiliki pertanyaan tentang panel ini, berikan pertanyaan anda di kolom komentar. Akan coba saya jawab berdasarkan apa yang saya tangkap.
Sekian dari saya.
Penulis: Fakry Naras Wahidi
Road to Cocoon 2016 merupakan acara Cocoon pertama yang saya hadiri. Berlangsung pada tanggal 31 Mei 2015 di Jakarta Design Center (JDC), Slipi, Jakarta Barat, saya cukup terkejut karena pengunjungnya yang ramai.
Apa karena ruangannya sempit? Entahlah. Yang jelas, saya melihat transaksi di acara yang hanya berlangsung sehari ini cukup tinggi.
Masuk ke materi panel oleh Sweta Kartika, Alex Irzaqi dan Mimi N. yang mana mereka adalah sebagai komikus profesional. Saya tertarik dengan materi yang diangkat karena pembicaranya itu orang-orang yang kompeten dan mampu membuat hobi ngomik menjadi profesi yang menghasilkan.
Pertanyaannya, kapankan hobi itu bisa dikatakan sudah penjadi profesi?
"Hobi menjadi profesi itu ketika sudah dimonetisasi," jawab Sweta. "Hobi komik menjadi profesi itu kalau sudah dijual," tambahnya.
Sweta Kartika Komikus Grey & Jingga, dah Nusantaranger |
Sweta menjelaskan awal dirinya membuat komik Grey & Jingga sebagai media sindiran untuk orang-orang di sosial media, khususnya yang galau, yang sering update status no mention.
Mengenai cara promosi dan mengenalkan karyanya ke masyarakat, Sweta punya cara sendiri.
"Lima seri pertama Grey & Jingga, saya tag komik online itu ke orang-orang yang dirasa potensial untuk share, selebihnya tidak tag lagi. Karena sudah ada yang share tanpa saya tag," tukas Sweta.
"Ketika hobi ngomik sudah menjadi profesi, komikus harus bisa memenuhi keinginan atau tuntutan pembaca dan editor," papar Mimi.
Mimi bercerita bahwa ngomik dilakukannya untuk menyalurkan hobi gambar, dan mewujudkan idealisme tentang pandangan-pandangan negatif terhadap dunia yang ada dalam pikirannya. Dari sana juga cerita komik World Inverse tercipta.
Mimi menerbitkan komik itu secara indie. Dan ia terkesan ketika mengetahui pemikirannya itu disukai.
Mini N. Komikus World Inverse, dan Ghost Load di Shonen Fight |
Ada peserta panel yang bertanya, dan pertanyaan itu mungkin juga merupakan pertanyaan semua orang yang ingin terjun ke industri komik.
"Apakah untuk jago ngomik itu harus jadi profesional dulu?"
Pertanyaan itu dijawab oleh Irzaqi dengan santai, namun tidak menyelesaikan masalah karena ia menjawab secara garis besar yang intinya tanpa jadi profesi, anda bisa bikin komik yang bagus.
Begitu juga menurut Sweta dan Mimi. Namun dengan menjadi profesional, jam terbang dan tuntutan profesi itu bisa jadi cambuk untuk terus memperbaiki kualitas komik, baik itu gambar maupun ceritanya.
Pertanyaan terakhir yang diberikan oleh peserta panel, "Apakah untuk bisa bikin komik yang bagus itu seseorang harus bisa gambar?"
Sweta menjawab dengan sangat jelas, berdasarkan pengalamannya di Nusantaranger. Menurutnya, untuk membuat komik yang bagus, tidak harus bisa gambar karena Nusantaranger sendiri dikerjakan bersama secara tim. Setiap anggotanya memiliki perannya sendiri, ada yang bikin cerita, konsep, buat merchandise, merencanakan penjualan, dan yang gambar untuk mewujudkan cerita dalam bentuk komik.
"Di Nusantaranger, yang gambar cuma saya. Anggota lainnya menjalankan perannya masing-masing. Tapi tujuan kita sama, membuat komik yang bagus," jelas Sweta.
Pada panel ini, tidak banyak materi yang dijelaskan oleh Irzaqi. Namun berdasarkan pengamatan saya, dia merupakan orang yang passion di bidang komik. Eksentrik, tapi konsisten. Menurut saya, yang model begini saja bisa jago, gemana kalau anda lebih semangat? Pasti bisa lebih baik.
Alex Irzaqi Komikus Gajah Mada, pemenang Manga Silent Audition 2013 oleh Comic Zenon |
Demikianlah materi yang dapat saya tangkap dalam panel bertajuk "Komikus sebagai hobi atau profesi" di panel Road to Cocoon 2016.
Jika anda memiliki pertanyaan tentang panel ini, berikan pertanyaan anda di kolom komentar. Akan coba saya jawab berdasarkan apa yang saya tangkap.
Sekian dari saya.
Di negeri ini profesi komikus krg direspek masyarakat umum. Ngomik dianggap meanseat yg sepele/Ga terlalu penting , hanya minoritas komunitas yg merasa semangat, Mungkin cuma dikategorikan'hobi semata, ditambah doktrin manga produk luar lebih di minati para otaku di indonesia, trend komik modern sdh persuasif ke kiblat Khas import.
BalasHapusdari segi'bisnis dinilai tdk value , bahkan di segala aspek pemerintah ga mendukung. perusahaan Penerbit besar hny mengukur faktor sekuler doang.... Ga perdulikan apresiasi/Seni karya.. Ujung2nya sih duit
memperihatinkan sekali kan
bbrp teman2 Yg coba ingin eksis ngomik kepaksa pamer di medsos/ Dikesempatan acara yg diselenggarakan komunitas. Bisa dibaca aja udh bangganya bukan maen.... Ada jg yg Beruntung bisa dpt honor seala kadarnya... Sedih jg sih
* Smoga aja suatu saat penerbit dan pemerintah kita sadar akan potensi calon2 Komikus lokal yg layak dihargai.
bagi teman2 Yg masih bermimpi utk jadi komikus sukses yg pro... Tetap lah'pegang dan bertekun impian itu.... Walau proses pembelajaran masih panjang sabar.